melancholics cyberpoptastics

Tuesday, February 22, 2005

itu dia!lariii! dan segerombolan orang pun lari mengejarnya walaupun hari masih pagi sehabis subuh. orangorang yang begitu semangat menaklukkan hari. ini jakarta! jakarta! yang menjadikan kita kuat! yang menjadikan kita tangguh! yang menjadikan kita bertahan! semoga


lils of melancholics cyberpoptastics

|

Thursday, February 17, 2005

Berdiri Tegak Tanpa Kaki

Kedua kakinya kaku dan agak membisu sepi. Tapi jemari kakinya masih mampu menapak di atas aspal, sepertinya enggan berdiam diri begitu saja. Kedua kaki bisu itu dibalut kain-kain kumal, mungkin kain yang ditemuinya di pasar hari kemarin. Pikirnya, lumayan bisa dipakai untuk menghangatkan kedua kakinya yang dari hari ke hari semakin biru itu.

Hari kedua, aku berpapasan lagi dengan dirinya. Aneh…biasanya dia tampak cukup ceria tapi kali ini, wajahnya cemas. Gelisah. Ooo…mungkin karena tadi malam dia kehujanan di pasar sehingga merasa kedinginan. Apalagi pasar becek dan kotor, menjijikkan sekali. Lumpur-lumpur bercampur aduk dengan sisa-sisa sampah pasar; sayuran busuk, kertas-kertas yang hancur karena air, kardus bahkan kadang terdapat kondom. Seperti hari sebelumnya, ritual yang dilakukannya adalah memakai peci, menggelar sebuah karung bekas untuk alas duduk dan tidak lupa, tempat oli bekas. Harapannya hanya satu, mengumpulkan rasa iba pejalan kaki yang akan melemparinya sekeping ketidakberhargaan yang menurutnya sebagai emas. Ketika aku melewatinya, matanya memelas. Memintaku untuk melemparkan sekeping uang logam yang makin dingin karena keringat tanganku. Dia pun tertawa, sepertinya puas karena rasa ibanya membuahkan hasil.

Hari ketiga, seperti hari-hari sebelumnya, aku harus bergegas ke kantor karena deadline yang tidak bisa ditolerir lagi. Yang ada dalam pikiranku malahan wajah si pengemis dengan kaki kakunya, bukan memikirkan pekerjaan! Rasanya seperti memikirkan seseorang yang aku suka, seperti jatuh cinta. Aneh. Apakah ini wajar atau berlebihan? Memang, sosok itu membuatku kagum sekaligus merasa iba. Setelah mandi, aku langsung melewati jalan menuju pasar tapi...dia tak terlihat di posisinya. Mungkin dia sakit. Mungkin juga pindah tempat tapi kakinya kan tidak kuat lagi untuk menapak apalagi berjalan. Ah...kenapa aku harus memikirnya? Tetapi kenapa juga dia menghiasi pikiranku?

Hari keempat, terjadi hal yang sama bahkan sampai hari keenam. Apa mungkin dia diciduk petugas keamaan pasar terkena sweeping? Kasihan benar. Kecemasanku semakin menjadi dan selalu terpikir untuk menanyakannya kepada orang-orang pasar. Tapi untuk apa?! Menunjukkan kepedulian sesama? Menunjukkan bahwa aku ini seseorang yang punya empati dengan kaum hina dina, kaum miskin? Bodoh. Memang bodoh. Kecemasan itu hanya sebatas di hati dan tak mau melompat ke hal yang lebih nyata dan lebih baik.

Hari ketujuh. Kecemasan hatiku terbayar sekaligus ngilu melihat sosok lelaki tua yang biasanya kulihat bersila dengan tempat oli bekasnya. Hari ini, tak kulihat lagi kedua kakinya yang membujur kaku dan bisu itu. Tapi, dia masih berdiri tegak dengan kaki yang panjangnya hanya selutut dan dibalut perban-perban yang masih menampakkan bintik-bintik merah. Perutku mual membayangkan amputasi kakinya. Belum lagi bintik-bintik merahnya yang sering terkena percikan air dan lumpur pasar yang jahat untuk kemurnian pertumbuhan jaringan pembuluh darahnya yang masih segar mengeluarkan bintik-bintik itu.

Kini, setiap pagi kulihat dirinya dalam pose berdiri tegak seperti manekin yang dipajang di etalase-etalase, diam membisu. Dan aku tak pernah tahu...apa yang dia pikirkan untuk hari-hari esok yang terus akan dihadapinya. Kenapa dia menikmati hidupnya? Semestinya, ia lebih dari seorang pengemis.



lils of melancholics cyberpoptastics

|

Tuesday, February 08, 2005

slow down! you move too fast!

|